Membaca Student Hidjo karya Mas Marco
Kartodikromo kembali memupuk kerinduan saya dengan buku – buku berlatar ’50-an
dan sebelumnya. Sebut saja saya pengagum karya angkatan Balai Pustaka dan
Pujangga Baru. Jika ditarik simpul, maka Student Hidjo ini pun relevan dengan
isu zaman sekarang. Saya tidak akan menjelaskan bagaimana ceritanya karena
ulasan ini bukan resensi buku. Saya hanya terdorong menulis sesuatu setelah
membaca, jadi ini murni subyektivitas saya. Mas Marco Kartodikromo dengan apik
mengingatkan saya bahwa dahulu bagi pribumi bersekolah rupanya sangat susah
(terlebih bagi anak perempuan). Maka mempunyai anak laki – laki yang sanggup
bersekolah sampai minimal tingkat HBS (sekarang SMA) sudah merupakan anugerah
luar biasa yang bisa mengangkat derajat menjadi keluarga priyayi (buku ini
rupanya mengingatkan saya pada Umar Kayam dengan Para Priyayi-nya). Namun apa
yang menjadi semacam syarat memasuki dunia priyayi rupanya tidak baku dan
sangat dinamis. Dahulu, meski orang kaya sekalipun jika ia tidak mempunyai
kedudukan di pemerintahan atau mempunyai anak yang bersekolah di sekolah Eropa,
maka belum layak menjadi priyayi sesungguhnya. Lantas, saya tidak bermaksud
menyejajarkan kekayaan dengan kepriyayian. Memang, priyagung itu identik dengan
kekayaan, namun jauh lebih dari itu.
Jika kita berkaca pada era sekarang, bukan
tidak mungkin seseorang setengah mati menjadi kaya raya agar disegani, namun
sama sekali tidak ‘mriyayeni’. Lantas apakah yang disebut Priyayi pada masa
yang Bathara Kala persembahkan pada kita saat ini? Mungkin masih ada, mungkin
juga tidak… Sementara orang – orang sibuk menyerukan paham sosialisme yang sama
rata sama rasa. Pembagian status ‘priyayi’ – ‘bukan priyayi’ sudah barang tentu
berseberangan dengan paham sosialisme. It’s oke. Namun, penyeru paham itu juga
dengan jujur lebih bahagia menjadi kaya raya dan dihormati. Rupanya, menurut
saya, itu lebih munafik daripada usaha prihatin yang dilakukan dengan jujur
(pada masa lalu) untuk menjadi seorang priyayi. Sampai saat ini saya masih
percaya dengan kepriyayian, namun lebih mendasar pada jiwa dan pola pikir yang
jernih dan maju lepas dari keadaan ekonominya.
0 commentaires:
Enregistrer un commentaire