mercredi 25 décembre 2013

WTF! Roro Jonggrang


            Alkisah di suatu malam, Roro Jonggrang menangis tersedu – sedu di sebuah toilet umum dalam kompleks cagar budaya candi Prambanan. Ia sedih melihat beberapa kerut yang sudah mulai muncul di wajahnya, terlebih ia sedih karena menahan rasa ingin buang air kecil namun tak tahu bagaimana cara menggunakan WC duduk dengan benar. Pada menit – menit pertama ia begitu gigih berusaha namun satu jam kemudian ia menyerah dan keluar dari toilet tersebut dengan muka masam.
            Roro Jonggrang mencari semak – semak sebagai tempat buang air kecil, lalu ia menemukan semak yang berada dibawah pohon jambu kluthuk. Ia menanggalkan beberapa selendangnya yang penuh manik hingga terdengar bunyi gemerincing. Bunyi tersebut menarik perhatian Suyono, salah satu petugas keamanan candi Prambanan. Pria bujang berusia 22 tahun tersebut baru bekerja selama 2 bulan sehingga ia masih memiliki loyalitas tinggi dan tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk di tempatnya bekerja. Didatanginya semak sumber bunyi gemerincing tadi, dengan tekad yang kuat serta tangan yang gemetar... getar... tarrr... dan semakin bergetar hingga bibirnya menggigil karena mendapati seorang perempuan yang luar biasa cantik dalam keadaan setengah telanjang berada dibalik semak – semak tersebut.
            Roro Jonggrang terkejut bukan main atas kedatangan Suyono, namun ia hanya bisa diam melihat wajah Suyono yang mirip dengan mantan kekasihnya. Beberapa detik lamanya kedua insan berbeda jaman tersebut saling diam dan menatap, hingga mata Roro Jonggrang mulai berkaca – kaca seraya ia berkata,
            “Kangmas, balikkan yukkkk...”,
            “Lieur atuh neng, ayokkkk....”, kata Suyono sambil tetap tak berkedip dan menghampiri Roro Jonggrang.
            Suyono memeluk Roro Jonggrang. Ia tak ingat lagi akan pekerjaannya, ia tak ingat lagi akan petuah ibunya, ia tak ingat lagi akan Mentari, gadis Cirebon yang akan dinikahinya, ia tak ingat lagi...
            Dihadapan candi Prambanan yang agung, dibawah pohon jambu kluthuk diantara semak dengan bermandikan cahaya rembulan yang temaram. Suyono tak lagi perjaka. Masih terdengar beberapa kali suara desah napas Roro Jonggrang.
            ....

            Keesokan harinya seluruh media massa di Yogyakarta heboh memberitakan sebuah kejadian di candi Prambanan, dengan headline “Arca Roro Jonggrang berganti menjadi Patung Pria Ereksi”.
Share:

Cerita Anak Lereng


                Namaku Retno. Aku seorang siswi kelas IV SDN Kaliurang 2. Aku tinggal dan lahir di lereng gunung Merapi. Dengan gaya hidup yang sangat sederhana, teman-teman sepermainan dan teman sekolahku yang memiliki latar belakang yang sama denganku. Aku tinggal di desa Cangkringan bersama nenek, ibu dan adik laki-lakiku yang masih balita. 
                Ya, hampir setiap hari aku bersama nenekku karena ibuku bekerja sebagai buruh pabrik di pinggir kota dan pulang malam hari. Nenekku seorang petani, namun ia menggarap sawah orang lain karena kami tidak memilki sawah. Walaupun nenek hanya dibayar dengan beras satu kilogram setiap hari, namun hal tersebut sangat kami syukuri. Kadang pamanku juga turut membantu nenek menggarap sawah. 
                Paman tinggal bersebelahan dengan kami. Ia seorang buruh serabutan. Kadang ia menjadi buruh tani seperti nenek, kadang mencari kayu ke hutan, kadang membantu tetangga membangun rumah, bahkan kadang menjadi penambang pasir dan batu kerikil di sungai setelah terjadi erupsi gunung Merapi. Dan karena erupsi gunung Merapi tiga bulan yang lalu, sekolah kami terpaksa diungsikan ke pinggir kota yang lebih jauh. 
                Setiap pagi aku bersama kedua sahabatku, Sri dan Dewi, serta anak-anak kampung lainnya berangkat ke sekolah bersama-sama. Karena jarak sekolah pengungsian dengan desa kami jauh, maka -kami berjalan bersama-sama agar tidak terasa lelah. Kadang sepulang sekolah aku membeli kembang gula untuk adikku, Usman. 
                Usman masih berusia lima tahun dan ia belum sekolah. Kegiatannya sehari-hari yaitu bermain bersama tetangga dan teman sebayanya, namun setiap pagi ia mencari kayu untuk memasak dan sebagian dijual ke tetangga untuk menambah uang jajannya. Ya, walau kami hidup dalam keterbatasan, namun kami tetap bersyukur dan aku masih mempunyai kesempatan untuk bersekolah. 
Share: