mercredi 25 mars 2015

Membaca Novel 97 tahun!

Membaca Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo kembali memupuk kerinduan saya dengan buku – buku berlatar ’50-an dan sebelumnya. Sebut saja saya pengagum karya angkatan Balai Pustaka dan Pujangga Baru. Jika ditarik simpul, maka Student Hidjo ini pun relevan dengan isu zaman sekarang. Saya tidak akan menjelaskan bagaimana ceritanya karena ulasan ini bukan resensi buku. Saya hanya terdorong menulis sesuatu setelah membaca, jadi ini murni subyektivitas saya. Mas Marco Kartodikromo dengan apik mengingatkan saya bahwa dahulu bagi pribumi bersekolah rupanya sangat susah (terlebih bagi anak perempuan). Maka mempunyai anak laki – laki yang sanggup bersekolah sampai minimal tingkat HBS (sekarang SMA) sudah merupakan anugerah luar biasa yang bisa mengangkat derajat menjadi keluarga priyayi (buku ini rupanya mengingatkan saya pada Umar Kayam dengan Para Priyayi-nya). Namun apa yang menjadi semacam syarat memasuki dunia priyayi rupanya tidak baku dan sangat dinamis. Dahulu, meski orang kaya sekalipun jika ia tidak mempunyai kedudukan di pemerintahan atau mempunyai anak yang bersekolah di sekolah Eropa, maka belum layak menjadi priyayi sesungguhnya. Lantas, saya tidak bermaksud menyejajarkan kekayaan dengan kepriyayian. Memang, priyagung itu identik dengan kekayaan, namun jauh lebih dari itu. 

Jika kita berkaca pada era sekarang, bukan tidak mungkin seseorang setengah mati menjadi kaya raya agar disegani, namun sama sekali tidak ‘mriyayeni’. Lantas apakah yang disebut Priyayi pada masa yang Bathara Kala persembahkan pada kita saat ini? Mungkin masih ada, mungkin juga tidak… Sementara orang – orang sibuk menyerukan paham sosialisme yang sama rata sama rasa. Pembagian status ‘priyayi’ – ‘bukan priyayi’ sudah barang tentu berseberangan dengan paham sosialisme. It’s oke. Namun, penyeru paham itu juga dengan jujur lebih bahagia menjadi kaya raya dan dihormati. Rupanya, menurut saya, itu lebih munafik daripada usaha prihatin yang dilakukan dengan jujur (pada masa lalu) untuk menjadi seorang priyayi. Sampai saat ini saya masih percaya dengan kepriyayian, namun lebih mendasar pada jiwa dan pola pikir yang jernih dan maju lepas dari keadaan ekonominya.
Share: