samedi 17 octobre 2015

Never ask me, "What (the fuck) is your Passion?"

YOLO? Hakuna Matata?

Kamu percaya passion? Nggak papa kalo nggak percaya. Tapi kamu harus tau bahwa manusia memiliki kecenderungan alami. Ya, memang benar ketika lahir kita adalah original. Tapi bukan berarti kosong (seperti yang kamu kira).

Tuhan kelewat baik memberi pengetahuan semesta pada ruh kita, hanya saja kita lupa bahkan tak lagi paham bagimana me-recallnya. Hmm, thats why kita selalu manggut-manggut meng-iya-kan saat kita diberi petuah atau saat mendapat ilmu (yang kamu pikir) baru.

Sayangnya, kita selalu sibuk menjadi yang kita inginkan hingga muncul status era kini: Salah Jurusan. Impactnya mulut ini bisa dengan entengnya berkata, "Ini bukan passion gue" atau "Ini tuh nggak gue banget". Wait, siapa bilang dokter nggak boleh melukis, siapa sangka engineer bisa jadi musisi kece?

Hanya ada dua kemungkinan yang terjadi dikarenakan faktor eksternal dari diri kita: ia membuat kita lupa kecenderungan alami kita; atau ia justru membuat kita semakin original.

...haluweh kok semakin njelimet 😨

Jadi gini, teladan kita Rasulullah SAW punya satu sifat Al-Furqon yang artinya Pembeda. Nah, kamu nggak perlu mati-matian terlihat menjadi beda, terlihat (sok) out of the box karena Beliau tak memberi teladan seperti itu.

Yang perlu kita lakukan adalah berdamai dengan diri dan sesuatu di luar diri kita. Satu-satunya jarak antara manusia dan 'passion'-nya adalah tekad. Sedangkan pertemuan manusia dengan 'passion'-nya adalah orisinalitas.

Aku menduga sekarang ini kamu bertanya sama dirimu sendiri, "passion gue apaan yah?"
Saranku, kamu tanya sama rumput yang bergoyang atau semut merah yang berbaris di dinding aja deh...

See, kupu-kupu tak pernah memilih untuk selalu mencintai taman bunga.
You Only Life Once atau Hakuna Matata, terserah. (cari aja di google wkwk)

⚪13 October 2015 22:12 at 2nd Melody, Yk⚪

Share:

mercredi 25 mars 2015

Membaca Novel 97 tahun!

Membaca Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo kembali memupuk kerinduan saya dengan buku – buku berlatar ’50-an dan sebelumnya. Sebut saja saya pengagum karya angkatan Balai Pustaka dan Pujangga Baru. Jika ditarik simpul, maka Student Hidjo ini pun relevan dengan isu zaman sekarang. Saya tidak akan menjelaskan bagaimana ceritanya karena ulasan ini bukan resensi buku. Saya hanya terdorong menulis sesuatu setelah membaca, jadi ini murni subyektivitas saya. Mas Marco Kartodikromo dengan apik mengingatkan saya bahwa dahulu bagi pribumi bersekolah rupanya sangat susah (terlebih bagi anak perempuan). Maka mempunyai anak laki – laki yang sanggup bersekolah sampai minimal tingkat HBS (sekarang SMA) sudah merupakan anugerah luar biasa yang bisa mengangkat derajat menjadi keluarga priyayi (buku ini rupanya mengingatkan saya pada Umar Kayam dengan Para Priyayi-nya). Namun apa yang menjadi semacam syarat memasuki dunia priyayi rupanya tidak baku dan sangat dinamis. Dahulu, meski orang kaya sekalipun jika ia tidak mempunyai kedudukan di pemerintahan atau mempunyai anak yang bersekolah di sekolah Eropa, maka belum layak menjadi priyayi sesungguhnya. Lantas, saya tidak bermaksud menyejajarkan kekayaan dengan kepriyayian. Memang, priyagung itu identik dengan kekayaan, namun jauh lebih dari itu. 

Jika kita berkaca pada era sekarang, bukan tidak mungkin seseorang setengah mati menjadi kaya raya agar disegani, namun sama sekali tidak ‘mriyayeni’. Lantas apakah yang disebut Priyayi pada masa yang Bathara Kala persembahkan pada kita saat ini? Mungkin masih ada, mungkin juga tidak… Sementara orang – orang sibuk menyerukan paham sosialisme yang sama rata sama rasa. Pembagian status ‘priyayi’ – ‘bukan priyayi’ sudah barang tentu berseberangan dengan paham sosialisme. It’s oke. Namun, penyeru paham itu juga dengan jujur lebih bahagia menjadi kaya raya dan dihormati. Rupanya, menurut saya, itu lebih munafik daripada usaha prihatin yang dilakukan dengan jujur (pada masa lalu) untuk menjadi seorang priyayi. Sampai saat ini saya masih percaya dengan kepriyayian, namun lebih mendasar pada jiwa dan pola pikir yang jernih dan maju lepas dari keadaan ekonominya.
Share:

mercredi 5 mars 2014

Kuliah oke, nyari duit oke



Mahasiswa dan wirausaha? Memang terdengar berseberangan, namun pada era globalisasi saat ini mulai banyak mahasiswa yang berkecimpung dalam dunia kewirausahaan. Beberapa diantaranya memulai dengan usaha kecil, namun tidak sedikit pula yang telah menjangkau pasar yang lebih luas dengan omzet yang lebih besar. Bahkan ada beberapa diantaranya yang telah merekrut pegawai. Dan hal ini tentu dapat meminimalisir angka pengangguran. Di Indonesia pun tercatat bahwa UMKM sebagai penopang utama perekonomian negara sebesar 99,01 % dari berbagai sektor perekonomian.
            Dengan berbagai kompetisi kewirausahaan seperti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM), Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) maupun kompetisi Wirausaha Muda Mandiri (WMM), mahasiswa akan mampu mengasah kemampuannya berwirausaha serta menambah pengetahuan dan pengalaman berwirausaha. Menurut Dr Nunuk Dwi Retnandari MS, dosen mata kuliah UMKM di Jurusan Manajemen Kebijakan Publik Fisipol Universitas Gadjah Mada dalam ulasannya di Jurnal Telisik #10 mengenai kewirausahaan, mahasiswa yang aktif diluar dunia akademis justru berpotensi meraih prestasi akademik yang tidak mengecewakan. Karena mahasiswa tersebut telah menerapkan pengetahuan akademisnya secara langsung pada masyarakat. Namun perlu diingat pula bahwa bidang yang ditekuni diharapkan tidak terlampau jauh dari dunia kemahasiswaan, karena sasaran pasarnya juga dari kalangan mahasiswa.
            Pihak universitas pun tak ketinggalan juga turut mendukung minat mahasiswa dalam berwirausaha. Salah satunya dengan membentuk Center for Entrepreneurship Development (CED) yang menaungi mahasiswa wirausaha di Universitas Gadjah Mada. CED juga menjadi koordinator lembaga kewirausahaan mahasiswa dari 30 universitas wilayah Jogja-Solo. Kegiatan yang dilakukan CED lebih banyak mengarah pada pendampingan mahasiswa yang bertujuan agar mahasiswa wirausaha mendapatkan bimbingan tentang tata cara pengelolaan usahanya.
            Disamping itu, tujuan yang lain adalah agar mahasiswa wirausaha tetap dapat menyeimbangkan waktu antara kuliah dan kegiatan usaha. Hal ini tentu saja sangatlah penting, mengingat tujuan utama mahasiswa adalah kuliah. Dengan memutuskan untuk berwirausaha, seorang mahasiswa semestinya menyadari bahwa ia memerlukan kepandaian yang lebih untuk membagi waktu agar kuliah maupun kegiatan usahanya tidak terbengkalai, sehingga keduanya dapat berjalan seimbang. Adanya lembaga dan bantuan dari pihak universitas tentu saja memudahkan para mahasiswa wirausaha semakin menumbuh-kembangkan usahanya.
            Para mahasiswa wirausaha tersebut juga bisa mendapatkan akses kepada wirausaha yang telah sukses di bidangnya, yang diharapkan akan mampu memotivasi mahasiswa wirausaha agar tetap konsisten pada bidang usahanya. Apalagi bagi mahasiswa yang baru saja memulai merintis usahanya, mereka bisa mendapatkan tips berwirausaha, cara manajemen waktu dan juga bisa saling bertukar pikiran dan sharing dengan pengusaha ahli maupun sesama mahasiswa wirausaha yang lain di CED.

Bagaimana dengan mahasiswa non-wirausaha?
            Ya, meskipun kita telah mengetahui manfaat berwirausaha bagi mahasiswa serta mengetahui kemudahan akses bagi mahasiswa wirausaha pada lingkup Universitas Gadjah Mada. Tidak semua mahasiswa mau dan mampu berwirausaha. Meskipun begitu, dalam rangka mewujudkan perbaikkan ekonomi negara melalui UMKM, mahasiswa juga dapat aktif berperan pada organisasi kemahasiswaan seperti BEM untuk melakukan pendampingan UMKM maupun sosialisasi kebijakan pemerintah. Sehingga antara mahasiswa, universitas dan pemerintah dapat saling bersinergi untuk membangun negara yang mandiri dengan UMKM.


            Contoh konkret mahasiswa wirausaha dalam lingkup kampus UGM dapat kita lihat pada Darsa Maliogusman yang menggeluti bidang clothing atau pembuatan pakaian yang secara spesisfik bergerak dalam pembuatan jaket UGM dengan merk Diemgi Clothes. Ia memutuskan menggeluti bidang yang spesifik tersebut karena target pasarnya adalah mahasiswa UGM yang menurutnya memiliki ketertarikan tersendiri terhadap atribut-atribut ke-UGM-an. Meskipun mendapat banyak kendala ia tetap konsisten pada usahanya dan kini ia telah mampu merekrut beberapa pagawai yang tak lain adalah teman-temannya sendiri.
            Berkembangnya mahasiswa yang berwirausaha ini diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi perekonomian Indonesia. Ini adalah salah satu gambaran UMKM yang dilakukan oleh mahasiswa. Meskipun menemui banyak kendala, hal itu tidak menjadikan para pemilik UMKM mundur karena menurut mereka, semua halangan dan rintangan merupakan salah satu jalan menuju kesuksesan.
            Menjadi mahasiswa wirausaha mulai dari sekarang? Siapa takut?
Share:

mercredi 25 décembre 2013

WTF! Roro Jonggrang


            Alkisah di suatu malam, Roro Jonggrang menangis tersedu – sedu di sebuah toilet umum dalam kompleks cagar budaya candi Prambanan. Ia sedih melihat beberapa kerut yang sudah mulai muncul di wajahnya, terlebih ia sedih karena menahan rasa ingin buang air kecil namun tak tahu bagaimana cara menggunakan WC duduk dengan benar. Pada menit – menit pertama ia begitu gigih berusaha namun satu jam kemudian ia menyerah dan keluar dari toilet tersebut dengan muka masam.
            Roro Jonggrang mencari semak – semak sebagai tempat buang air kecil, lalu ia menemukan semak yang berada dibawah pohon jambu kluthuk. Ia menanggalkan beberapa selendangnya yang penuh manik hingga terdengar bunyi gemerincing. Bunyi tersebut menarik perhatian Suyono, salah satu petugas keamanan candi Prambanan. Pria bujang berusia 22 tahun tersebut baru bekerja selama 2 bulan sehingga ia masih memiliki loyalitas tinggi dan tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk di tempatnya bekerja. Didatanginya semak sumber bunyi gemerincing tadi, dengan tekad yang kuat serta tangan yang gemetar... getar... tarrr... dan semakin bergetar hingga bibirnya menggigil karena mendapati seorang perempuan yang luar biasa cantik dalam keadaan setengah telanjang berada dibalik semak – semak tersebut.
            Roro Jonggrang terkejut bukan main atas kedatangan Suyono, namun ia hanya bisa diam melihat wajah Suyono yang mirip dengan mantan kekasihnya. Beberapa detik lamanya kedua insan berbeda jaman tersebut saling diam dan menatap, hingga mata Roro Jonggrang mulai berkaca – kaca seraya ia berkata,
            “Kangmas, balikkan yukkkk...”,
            “Lieur atuh neng, ayokkkk....”, kata Suyono sambil tetap tak berkedip dan menghampiri Roro Jonggrang.
            Suyono memeluk Roro Jonggrang. Ia tak ingat lagi akan pekerjaannya, ia tak ingat lagi akan petuah ibunya, ia tak ingat lagi akan Mentari, gadis Cirebon yang akan dinikahinya, ia tak ingat lagi...
            Dihadapan candi Prambanan yang agung, dibawah pohon jambu kluthuk diantara semak dengan bermandikan cahaya rembulan yang temaram. Suyono tak lagi perjaka. Masih terdengar beberapa kali suara desah napas Roro Jonggrang.
            ....

            Keesokan harinya seluruh media massa di Yogyakarta heboh memberitakan sebuah kejadian di candi Prambanan, dengan headline “Arca Roro Jonggrang berganti menjadi Patung Pria Ereksi”.
Share:

Cerita Anak Lereng


                Namaku Retno. Aku seorang siswi kelas IV SDN Kaliurang 2. Aku tinggal dan lahir di lereng gunung Merapi. Dengan gaya hidup yang sangat sederhana, teman-teman sepermainan dan teman sekolahku yang memiliki latar belakang yang sama denganku. Aku tinggal di desa Cangkringan bersama nenek, ibu dan adik laki-lakiku yang masih balita. 
                Ya, hampir setiap hari aku bersama nenekku karena ibuku bekerja sebagai buruh pabrik di pinggir kota dan pulang malam hari. Nenekku seorang petani, namun ia menggarap sawah orang lain karena kami tidak memilki sawah. Walaupun nenek hanya dibayar dengan beras satu kilogram setiap hari, namun hal tersebut sangat kami syukuri. Kadang pamanku juga turut membantu nenek menggarap sawah. 
                Paman tinggal bersebelahan dengan kami. Ia seorang buruh serabutan. Kadang ia menjadi buruh tani seperti nenek, kadang mencari kayu ke hutan, kadang membantu tetangga membangun rumah, bahkan kadang menjadi penambang pasir dan batu kerikil di sungai setelah terjadi erupsi gunung Merapi. Dan karena erupsi gunung Merapi tiga bulan yang lalu, sekolah kami terpaksa diungsikan ke pinggir kota yang lebih jauh. 
                Setiap pagi aku bersama kedua sahabatku, Sri dan Dewi, serta anak-anak kampung lainnya berangkat ke sekolah bersama-sama. Karena jarak sekolah pengungsian dengan desa kami jauh, maka -kami berjalan bersama-sama agar tidak terasa lelah. Kadang sepulang sekolah aku membeli kembang gula untuk adikku, Usman. 
                Usman masih berusia lima tahun dan ia belum sekolah. Kegiatannya sehari-hari yaitu bermain bersama tetangga dan teman sebayanya, namun setiap pagi ia mencari kayu untuk memasak dan sebagian dijual ke tetangga untuk menambah uang jajannya. Ya, walau kami hidup dalam keterbatasan, namun kami tetap bersyukur dan aku masih mempunyai kesempatan untuk bersekolah. 
Share: